“keadaanlah yang membentuk sudut pandang manusia, namun manusialah yang
membuat keadaan, maka bentuklah keadaan dirimu sebaik mungkin agar sudutpandangmu
berada di arah yang baik”
-jali gojali-
Flashback 20 tahun yang lalu dimana saat itu usiaku masih 8 tahun, sekitar
kelas 3 SD. Aku bersekolah di SDN Labuan 6 Kecamatan Labuan Pandeglang Banten
sekarang sih sudah berubah nama menjadi SDN Kalanganyar 3 tapi lokasinya masih
disitu yang berbeda cuma gedungnya yang sudah mengalami perehaban sehingga
sudah tak seperti dulu lagi.
Aku bersyukur dilahirkan dari keluarga sederhana yang cukup dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Ibu dan Bapak yang wiraswasta memilki waktu
dirumah yang banyak sehingga banyak pelajaran yang aku contoh dan dapatkan dari
kedua orang tuaku itu. Kerja keras dan kegigihan mereka sangat terasa yang
kadang membuat diriku merasa ingin sekali suatu saat nanti bisa membuat kedua
orang tuaku itu pensiun dari pekerjaanya dengan penghasilanku kelak. Aku bukan
anak pandai, suka bermain dan membandel sekali pada perintah orang tua. Apalagi
kalau sudah disuruh berangkat ke pengajian, malesnya bukan main. Aku lebih
tertarik nonton tv atau bermain di luar bersama teman-teman. Sedari kecil aku
seperti sudah memiliki prinsip bahwa aku ini individu yang gak bisa diatur atau
di suruh karena sebenarnya aku juga akan melakukannya, tapi tidak pada waktu
dimana menurutku tidak tepat dilakukan pada saat-saat tertentu. Aturan semi
otoriter yang kerap dilakukan orang tua pada ku membuat berontak dan kadang
suka membalikan pembicaraan. Tapi semu aitu masih dalam kesadaran bahwa semua
sikap orang tuaku intinya untuk kebaikan juga.
Selebihnya masa kecil dulu itu indah sekali, tidak ada keluhan orang tua
yang berhubungan dengan masalah finansial atau mungkin karena aku masih kecil
jadi kebutuhannya belum banyak. Engga juga kok, lebih tepatnya didikan orang
tua yang memberikan contoh kesederhanaan membuat kami harus selalu bersyukur
atas apa yang kami terima. Sedikit ya disyukuri banyak alhamdulillah. Namun Ibu
bercerita bahwa iklim usaha dulu lebih baik dari sekarang ini. Jarang ada orang
yang hutangnya menumpuk, kreditan gak kebayar atau konflik dengan rentenir.
Iklim perekonomian Orde Baru yang tumbuh sekitar 35% pertahunnya cukup menjadi
bukti bahwa Indonesia di jaman orde baru mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Sektor Pariwisata sebagai penggerak perekonomian Kota Labuan pada saat itu
memiliki andil besar pada kesejahteraan penduduknya. Dulu pantai Carita itu
seperti Bali ke 2 bagi turis asing yang datang dari berbagai negara. Tingkat
pembangunan hotel-hotel bertaraf internasional cukup meningkat, begitujuga
dengan tingkat sewanya.
Keamanan yang kondusif dan stabilitas perekonomian yang terjadi nampaknya
berpengaruh besar terhadap kesejahteraan penduduk pada saat itu. Mau usaha apa
saja asal memiliki kemauan nampaknya akan lumayan sukses, mau jualan apa saja
akan laku. Tidak ada premanisme, birokrasi yang rumit, atau pejabat yang
menyalah gunakan wewenangnya. Semuanya diatur dengan mekanisme terpusat.
Pusatlah yang memilki kendali, sedangkan kepala daerah hanya bertugas mengelola
sesuai instruksinya. Tidak ada demonstrasi penuntutan hak, atau penggugatan
ketidak adilan. Yang ada hanyalah tunduk dan patuh pada aturan dan perintah
atasan. Kondisi ini membuat indonesia berada pada kestabilan keamanan yang
sangat baik.
Disamping itu pembangunan berbagai infrastruktur terus berjalan, membuka
banyak sekali lapangan pekerjaan dan kemudian menekan angka pengangguran.
Teringat ketika kakak perempuan ku bekerja di sebuah pabrik sepatu di daerah
tangerang pada saat itu, pernah diajak berkeliling melihat megahnya kota
jakarta dan setidaknya hal tersebut membuatku cukup berkesan. Melihat ribuan
karyawan pabrik tersebut masuk kerja secara bersamaan, memilki penghidupan yang
layak, sungguh senang sekali. Nampaknya Orde Baru berhasil mensukseskan
program-program pembangunannya.
Melihat uang pecahan Rp. 50.000 bergambar Soeharto seakan aku melihat sosok
pemimpin yang tegas dan cerdas. Sosoknya diidolakan oleh banyak orang termasuk
mungkin diriku pada saat itu. Aku tau betul wajahnya, sosoknya, cara
berbicaranya yang khas (padet kejawaan), memiliki pangkat jenderal dan dari
keturunan seorang petani. Cukup kiranya menginspirasi diriku yang juga berasal
dari keluarga yang sederhana. Aku tumbuh besar seiring kepemimpinannya yang
terus menenrus terpilih kembali menjadi presiden. Tak pernah ada pergantian
foto presiden di sekolahku, sampai-sampai aku hafal betul nama mentri-metri
pembantunya yang tergabung dalam kabinet Pembangunan. Pada waktu kelas 6 aku
tahu betul apa itu Repelita, siapa menteri penerangan, siapa menteri agama, dan
bahkan mejadi tebak-tebakan kami desela-sela istirahat sekolah.
Kami belajar dengan sistem pendidikan yang mengacu pada kurikulum CBSA.
Walau pelajaran sikap tidak spesifik diajarkan namun menghormati guru dan teman
sduah menjadi nilai yang saling kami tularkan satu-sama lain. Iklim kekerabatan
dan saling gotong royong, saling membantu, solidaritas sesama warga sangat erat
terjadi pada masa itu. Kami benar-benar takut aturan dan fungsi aturanpun
berjalan semestinya. Tidak ada yang semena-mena melanggar aturan, atau aturan
itu sendiri yang akan mencelakakan jika dilanggar.
Dulu tidak ada pemilihan kepala daerah atau presiden secara langsung oleh
rakyat. Pemilihan kepala daerah (Gubernur/Bupati) dilakukan dengan mekanisme
jabadan eselon setingkat menteri, sedangkan Presiden ditentunkan dengan mekanisme
suara terbanyak di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Masayarakat
tinggal menunggu keputusan MPR siapa yang akan terpilih menjadi Presiden nanti.
Tidak ada biaya triliunan rupiah yang dikeluarkan pemerintah untuk memilih
wakil rakyat, karena mekanisme yang dijalankan cukup keputusan ditingkat pusat
saja. Partisipasi rakyat didunia politik hanya terbatas pada menentukan sikap
politik memilih partai saja. Ada 3 partai politik peserta pemilu tiap 5
tahunnya dan kurang lebih selama 40 tahun tetap tidak bertambah jumlahnya. Suasana
Pemilu dulu sangat meriah berbeda dengan sekarang yang lebih ke “money oriented”.
Dulu saya tahu betul ribuan motor dan mobil turun kejalan sebagai bentuk
dukungan simpatisan pada partai pilihannya. Jika musim kampanye tiba di kampung
saya banyak stiker dan bendera partai berkibar layaknya perayaan 17an. Sekali mendapat
jadwal kampanye gemuruh suara mobil dan motor simpatisan turun ke jalan membuat
saya berlari ingin melihat aksi mereka. Jika hari ini jadwal PPP yang
berkampanye maka jalanan akan dipenuhi atribut berwarna hijau beriringan tak
putus-putus melintasi jalan-jalan protokol. Begitu juga dengan Partai PDI dan
Golkar. Suasana kampanye Partai waktu dulu cukup mengesankan dibanding
sekarang.
Dulu kami tidak pernah kekurangan beras, dan harganya pun sangat
terjangkau. Walau tidak ada bantuan beras raskin seperti sekarang namun dulu
kami tidak pernah kekurangan karena harga beras stabil dengan daya beli
masyarakat yang positif. Mekanisme import beras oleh BULOG dari thailand
menjawab kekurangan pasokan beras dalam negeri sehingga “suplay and demand”
dapat dikendalikan pemerintah. Tidak ada pihak swasta yang semena-mena memonopoli
pasar baik dalam hal pasokan beras atau komoditas lainnya karena pemerintah
punya taring yang sangat kuat menjadi pengendali.
Uang jajan saya waktu (jaman SD tahun 1992) itu sehari dikasih Rp. 1000,
uang sebesar itu sebanding dengan harga 4 bungkus Sarimie atau 20 buah gorengan
atau 40 buah permen. Jadi mengacu pada pola jajan saya dulu seperti ini:
Pagi sebelum berangkat sekolah dikasih Bapak Rp. 1000
Menabung di sekolah Rp.
500
Membeli Gorengan 2 bh Rp.
200
Membeli ES Limun 1x Rp.
100
Membeli Permen 4 bh Rp.
100
Membeli mainan (kelereng/gambaran/dll) Rp.
100
Total uang jajan sekolah Rp. 1.000
Uang Rp. 25, tahun edar 1996
Untuk uang jajan setelah pulang sekolah biasanya saya meminta tambahan dengan
nada sedikit merengek pada orang tua.
Jaman sekolah SMP naik menjadi Rp. 1.500 sampai Rp. 2000 dengan kebutuhan
dan kenaikan harga yang juga menyesuaikan.
Jaman SMA tahun 2002 uang jajan naik menjadi Rp. 5000 dipotong biaya
transport Rp. 500 sekali jalan (PP Rp. 1000) jadi uang jajan utuh Rp. 4000
dengan rincian sebagai berikut:
Bubur sop 1 mangkok Rp.
500
Gorengan 2 buah Rp.
500
Minuman ES 2 gelas Rp.
500
Mie ayam 1 mangkok Rp. 1.000
Pendukung sekolah Rp.
500
Lain-lain Rp. 1.000
Total Rp. 4.000
Juga biaya-biaya umum sebagai gamabaran :
Biaya foto copy / lembar Rp.
50
Ballpoint / bh Rp. 500
Buku standar / bh Rp. 1.000
SPP Sekolah SMA / Bulan Rp.
10.000
Ulangan harian Rp. 500 – Rp. 2.000
(tergantung gurunya)
Buku paket penunjang pelajaran yang dijual sekolah berkisar antara Rp. 5.000
sampai Rp. 10.000 (dicicil selama 1 semester)
Pernah mendapat beasiswa bantuan transport siswa (jauh) sebesar Rp. 200.000
Beasiswa ikut lomba ESC (English Speaking Club) 2003 SPP sebesar Rp.
100.000
Beasiswa ikut lomba ESC (English Speaking Club) 2004 SPP sebesar Rp. 85.000
NB: semua biaya-biaya diatas mungkin akan berbeda dengan kondisi daerah
masing-masing di tahun yang sama. Hitungan ini hanya mengacu pada jatah uasng
saku saya selama 1 hari yang besar nominalnya akan berbeda bagi setiap orang.
Tapi alhamdulilah dengan terus terjadinya inflasi yang mengakibatkan
penurunan nilai nominal uang dengan harga barang yang terus naik saya merasa
cukup bersyukur mampu memenuhi kebutuhan hidup saat itu.
Mungkin kesannya saya terlalu menilai positif jaman ORBA, walau demikian
saya tau betul kekurangan sistem pemerintahan ORBA ini, tapi nanti yah saya
bahas terpisah, saya ingin mengucapkan terima kasih pada pemimpin saat itu atas
kerja keras dan pemikirannya terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa sehingga
kami tumbuh berkembang dengan baik sampai sekarang, “alhamdulillah hirobbil
alamin”. Terima kasih Pak Soeharto semoga amal ibadah mu diterima disisi Allah
SWT, amin.